Oleh: Arifin Muhammad Ade (Pegiat Rumah Baca Komunitas (RBK) Yogyakarta)
Indonesia menjadi salah satu negara dengan keragaman jenis kulinernya, tak mengherankan jika citra kuliner Indonesia juga identik dengan keragaman dan keunikan budaya serta kaya akan cita rasa. Dari Sabang sampai Merauke, tersebar beranekaragam kuliner yang memiliki citarasa berbeda-beda. Bukan hanya itu, di balik kekayaan kuliner khas Indonesia, terkandung filosofi luhur yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang sebagai sumber dan pedoman hidup masyarakat Indonesia.
Dalam buku Antropologi Kuliner Nusantara (2015), dijelaskan bahwa banyaknya kisah dibalik kekayaan kuliner Nusantara. Dominannya rasa, bumbu, dan bahan makanan tertentu di suatu daerah bisa dikaitkan dengan banyak hal. Mulai dari budaya, agama, politik, perdagangan, hingga riwayat penaklukan di masa silam. Dengan demikian,kuliner selain merupakan kebutuhan biologis agar manusia dapat bertahan hidup, juga merupakan kebutuhan sosial dan budaya dalam suatu komunitas masyarakat.
Atas dasar hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kuliner adalah identitas yang melekat dengan hidup keseharian manusia. Apa yang dikonsumsi di suatu wilayah dengan wilayah lain, suku bangsa dengan suku bangsa lain, serta bangsa dengan bangsa lain umumnya dapat berbeda dari segi bahan, wujud, dan rasa. Artinya, kuliner terhubung dengan selera kolektif yang terbentuk oleh lingkungan hidup dan budaya manusia. Kuliner pun bukan hanya sebatas persoalan identitas, melainkan mencakup berbagai hal dan permasalahan yang kompleks dan tidak sembarang hanya sekadar diolah, disajikan, dinikmati lalu tuntas tandas begitu saja di meja makan.
Jika ditinjau dari aspek budaya, menurut Pipit Anggraeni (2019), kuliner merupakan produk kebudayaan Indonesia yang amat beragam dan kaya. Kemunculan kuliner di Indonesia tak dapat dilepaskan dari sejarah kebudayaan yang pernah ada. Sebut saja kuliner yang muncul sejak masa kerajaan, masa pemerintahan kolonial, hingga kuliner yang kita temui di restoran-restoran modern saat ini. Nyaris setiap daerah memiliki kuliner khas masing-masing. Kekhasan kuliner itu sejatinya diuntungkan dengan cita rasa yang lezat, karena didukung dengan bumbu-bumbu berkualitas. Kita tentu saja masih ingat, bagaimana negeri ini pernah menjadi rebutan penjajah-penjajah dari bangsa Eropa karena kualitas rempah-rempahnya.
Hal senada disampaikan Fadly Rahman (2019), yang mengibaratkan bahwa makanan seperti aliran sungai, yang keberadaannya terhubung dari hulu ke hilir. Kualitas lingkungan dan pangan merupakan hulu yang menentukan bermutu tidaknya kualitas makanan di hilirnya. Di sepanjang aliran hulu ke hilir itu, perjalanan makanan baik suatu bangsa maupun suku-bangsa ditentukan oleh berbagai aspek, di antaranya lingkungan, sejarah, sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Berbicara tentang kuliner, semua daerah kebagian resep lezatnya masing-masing. Misalnya, di Padang kita mengenal adanya rendang yang menjadi ciri khas daerah tersebut, bubur manado sebagai kuliner andalan orang Manado, Yogyakarta dengan gudeg-nya, serta pempek yang menjadi kuliner kebanggaan masyarakat Palembang. Dan masih banyak lagi kuliner khas setiap daerah.
Selain beberapa jenis kuliner yang disebutkan di atas, jika kita menengok ke wilayah Timur Indonesia, khususnya di Papua dan Maluku, di daerah tersebut terdapat kuliner khas yang dikonsumsi masyarakatnya. Adapun keberadaan kuliner tersebut juga menggambarkan kebudayaan serta identitas dan jati diri masyarakat setempat.Seperti diketahui, daerah Maluku dan Papua memiliki ketersediaan sagu yang melimpah karena didukung kondisi geografis alamnya dan dengan kearifan lokal masyarakatnya. Bahan alam tersebut diolah menjadi berbagai bahan makanan untuk menjaga ketahanan pangan mereka sehingga tidak terlalu bergantung pada beras.
Adalah papeda, jenis makan berbahan dasar sagu yang menjadi makanan pokok khas Papua, Maluku dam Maluku Utara ini merupakan variasi olahan dari tepung sagu yang bertekstur kenyal dan lengket seperti lem, tetapi memiliki rasa yang gurih. Dengan rasa yang tawar menjadikan papedadapat dinikmati dengan berbagai variasi, seperti ikan cakalang asap – olahan ikan khas daerah timur, sambal colo-colo, dan beragam menu khas lainnya sehingga membuat nutrisinya berimbang.
Jika kita melihat cara penyajian papeda di Maluku Utara, biasanya papedatersaji saat acara-acara adat. Selain itu, keberadaan papeda juga menjadi simbol penyambutan tamu atau kerabat keluarga yang datang dari perantauan. Kepercayaan masyarakat Maluku Utara dalam menyambut tamu dengan sajian papeda dapat mempererat hubungan persaudaraan. Saat ini, keberadaan papeda juga masih banyak dijumpai di warung-warung makanan tradisional di Maluku Utara dan bisa menjadi salah satu daya tarik wisata kuliner bagi wisatawan dari luar daerah.
Murdijadi, dkk (2019) menjelaskan bahwa kategori suatu hidangan dapat disebut sebagai kuliner tradisional akan sangat tepat apabila ditinjau dari lima aspek, yaitu dibuat dari bahan pangan yang diproduksi di daerah tempat tinggal masyarakat setempat, diolah dengan cara dan tahap yang dikuasai oleh masyarakat, cita rasanya yang dapat diterima, bahkan disukai dan dirindukan oleh warga masyarakat, menjadi identitas kelompok masyarakat tertentu yang mengonsumsinya, dan menjadi identitas daerah serta lebih jauh membangun rasa kebersamaan yang kompak dari masyarakat.
Dengan demikian, sebagai salah satu makanan tradisional nusantara, papeda sangat penting untuk dilestarikan. Karena keberadaan papeda memenuhi lima kriteria sebagaimana yang disampaikan oleh Murdijadi di atas.Di belakang papeda tersembunyi nilai, aturan, norma, ide untuk meregulasi individu dalam suatu relasi sosial. Di balik papeda yang disajikan, selalu ada pengaruh unsur pengetahuan subjektif juru masak, pengalaman petani, penyaji, dan seterusnya.
Cerita Sagu di Nusantara
Membahas tentang papeda, sejatinya tak dapat dilepaskan dari sagu (Metroxylon sago) yang menjadi bahan pokoknya. Hal inilah yang digambarkan oleh George EverhardRumpf dalam karyanya Herbarium Amboinense (1741). Berdasarkan pengamatan Rumphius, penduduk Ambon memiliki kegiatan penting mengekstraksi terigu dari rumbia (sagu). Tepung sagu tersebut biasanya dimanfaatkan oleh penduduk Ambon dalam dua cara, yaitu sebagai papedadan sagu lempeng. Keberadaan kedua jenis makanan ini masih bertahan dan dikonsumsi hingga kini.
Keanekaragaman pangan lokal, khususnya tumbuhan sagu yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara juga didokumentasikan oleh tokoh-tokoh pesohor dunia lainnya.Berdasarkan catatan perjalanan Alfred Russel Wallace di Seram yang terdokumentasikan dalam The Malay Archipelago (1869),dijelaskan bahwa Seram adalah penghasil sagu terbesar di Maluku yang memasok sebagian besar sagu ke pulau-pulau disekitarnya. Selain menginformasikan potensi sagu di Seram Timur, Wallace juga menjelaskan proses pemanfaatan pohon sagu hingga dapat dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari.
Hal yang sama juga dinarasikan oleh Marco Polo seputar praktek pengolahan makanan berbasis sagu. Marco Polo dalam lawatannya ke Lambri (Lamuri) dan Fanfvr (Fansur) juga mengulas dengan terperinci bagaimana sagu sebagai bahan makanan diolah menjadi sejenis kue yang dikonsumsi masyarakat setempat. Menurut Marco Polo,“tidak banyak didapati gandum ataupun jagung, makanan orang pribumi adalah nasi dengan susu dan anggur yang disadap dari pohon-pohon. Mereka juga memiliki pohon (sagu) yang melalui proses aneh bisa menghasilkan sejenis makanan”.
Catatan terkait tumbuhan sagu juga disampaikan oleh William Marsden dalam The History of Sumatera (1811). Melalui buku tersebut Marsden menjelaskan bahwa meskipun sagu cukup populer di Sumatra dan sesekali digunakan oleh para penduduk, tetapi sagu bukanlah makanan pokok yang sering dikonsumsi. Hal ini berbeda dengan penduduk lain di kepulauan timur yang menjadikannya sebagai pengganti nasi
Berdasarkan catatan-catatan sejarah yang dituliskan di atas, dapat dikatakan bahwa sagu sebenarnya menjadi sumber pangan pokok yang awalnya dikonsumsi para leluhur kita sebelum mengenal beras. Dalam sebuah kajian terhadap pola diet penghuni gua purba di Niah, Serawak, Malaysia, menemukan jejak konsumsi sagu sejak 50.000 tahun lalu. Ini menjadi bukti tertua tentang pemanfaatan sagu sebagai sumber pangan di kepulauan Asia Tenggara. Budaya mengonsumsi sagu ini masih diteruskan oleh pemburu-peramu terakhir di Kalimantan, yaitu masyarakat Punan atau yang di Malaysia disebut Penan.
Roy Ellen (2012), etnobiolog yang banyak meneliti sagu di Papua dan Maluku, telah memberikan bukti-bukti kepurbaan sagu sebagai sumber pangan. Dia melacak kepurbaan sumber sagu di Papua melalui budaya pembuatan tungku gerabah atau tembikar. Berdasarkan data-data yang ada, Ellen memperkirakan, ekstraksi pati sagu di paparan Sahul telah berlangsung di zaman pleistosen, setidaknya sekitar 30.000 tahun lalu. Bahkan, alat-alat batu – yang berumur sekitar 40.000 tahun lalu – juga ditemukan di teras di sisi utara Semenanjung Huon di Provinsi Marobe, Papua Nugini. Alat-alat ini mungkin digunakan untuk mengupas kulit keras pohon sagu.
Jika kita menelusuri sejarah penyebaran tumbuhan sagu hingga saat ini, di mana Papua menjadi wilayah dengan populasi sagu terbesar di Indonesia bahkan dunia. Ternyata, pada awalnya, sagu tidak hanya dikonsumsi oleh Orang Papua, tetapi juga masyarakat diberbagai tempat lain di Indonesia. Misalnya, di Sumatra Selatan, sagu pernah menjadi sumber pangan penting yang menopang kejayaan kerajaan Sriwijaya. Jejak sagu sebagai sumber pangan masyarakat Sumatra Selatan masih bisa dilihat dari kuliner khas setempat, yaitu pempek. Walau bahan dasar pempek belakangan diganti tepung terigu (Arif, 2019).
Di era globalisasi yang ditandai dengan nyaris tanpa batasnya laju arus manusia, barang, dan modal. Kuliner menjadi salah satu elemen identitas Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kuliner tradisional kita perlu digarap agar lebih modern dari sisi penampilannya sekaligus diolah supaya lebih sehat. Kita memiliki sumber pangan karbohidrat yang terbesar di dunia, berupa sagu. Namun, cara penyajiannya tentu perlu disesuaikan dengan selera masyarakat era kini atau harus di modernisasi tampilan, cita rasa dan metode pengelolaannya.
Demikian, warisan kuliner papeda dengan keunikannya yang mencirikan kebudayaan dan identitas masyarakat di Indonesia bagian timur merupakan satu dari sekian banyak kekayaan budaya nusantara, khususnya dalam bidang kuliner. Atas dasar itu, ketika kita melestarikan kuliner tradisional yang khas tersebut, secara tidak langsung kita juga melestarikan kekayaan budaya yang ada di daerah setempat.