PROFESIONALISME AUDITOR DIPERSIMPANGAN KOMERSIALISME

oleh -67 Dilihat
oleh
Fajra Fajria
Fajra Fajria

Pernahkah anda membaca atau mendengar skandal Perusahaan Enron? Atau runtuhnya salah satu perusahaan Big Five, Arthur Andersen? Saat ini, yang dapat kita temukan hanyalah sejarah kelam keruntuhan kedua perusahaan tersebut.

Skandal Perusahaan Enron merupakan kejahatan keuangan yang melibatkan Perusahaan Akuntan Publik Arthur Andersen, peristiwa ini menggambarkan secara sempurna adanya disorientasi akibat konflik peran nilai yang dihadapi auditor dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Mereka harus dapat melakukan trade off antara judgement profesionalnya atau meleburkan diri kedalam kubangan komersialisme. Kedua hal ini akan berdampak pada kualitas audit yang dihasilkan, yang pada akhirnya akan bermuara ke masa kejayaan atau kemalangan perusahaan itu sendir.

Skandal ini bermula ketika perusahaan Enron yang bergerak dibidang energi di Houston. Terlibat dalam salah satu skandal kejahatan keuangan terbesar Amerika Serikat bahkan didunia pada tahun 2001 yang menyebabkan kehancurannya, Enron melakukan manipulasi laporan keuangan dan menyembunyikan ratusan juta dolar kerugian serta utang perusahaan dari user. Kejahatan ini melibatkan nama salah satu perusahaan akuntan publik yang sangat besar dan terkemuka di Amerika Serikat saat itu, Arthur Andersen. Dimana Arthur Andersen telah meng-audit Enron selama 16 tahun ini, dinyatakan bersalah atas tuduhan menghalangi penyelidikan pemerintah terhadap Enron dengan menghancurkan ribuan dokumen-dokumen penting terkait audit Enron.

Akibatnya, firma ini kehilangan reputasi dan berhenti beroperasi sebagai salah satu firma akuntansi terkemuka. Dengan runtuhnya kejayaan Andersen istilah Big Five pun berganti menjadi Big Four Accouting firm’s termasuk didalamnya perusahaan akuntan public seperti Deloitte, PricewaterhouseCoopers (PwC), Ernst & Young serta Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) ke empat perusahaan ini masih eksis sampai sekarang. Skandal ini pun menjadi salah satu cikal bakal lahirnya Sarbanes-Oxley Act (SOX) yang menjadi tonggak penting dalam penguatan regulasi tata kelola perusahaan, khususnya terkait dengan transparansi pelaporan keuangan dan akuntabilitas manajemen.

Ditinjau dari sejarahnya sejak didirikan pada tahun 1913, Arthur Andersen memiliki profil perusahaan yang sangat baik. Ketika itu, perusahaan ini dijalankan oleh founder nya yaitu Prof. Arthur E Andersen. Ia dikenal sebagai auditor yang keras dan cenderung “kaku”, Andersen membangun praktik akuntansi yang didasarkan pada etika professional meliputi kejujuran, transparansi, dan integritas didalam perusahaannya, sehingga berdampak pada high quality audit yang dihasilkan. Namun ketika Andersen wafat ditahun 1947, perlahan tapi pasti seiring dengan bergantinya kepemimpinan. Perusahaan ini mengalami pergeseran nilai dengan kecenderungan untuk meraup keuntungan, Andersen yang ketika itu dipimpin oleh Joseph berakhir pada muara kemalangan karena terjatuh dalam kubangan komersialisme.

Anda juga pasti masih mengingat kasus yang melibatkan Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia 2019 lalu, kasus ini mencuat ketika Chairul Tanjung dan Dony Oskaria selaku bagian dari dewan direksi di maskapai tersebut menyatakan dissenting opinion, dengan tidak menandatangani laporan keuangan yang berakhir pada tahun 2018, karena dirasa ada kesalahan dalam penyajiannya. Dalam kasus ini, kita akan menyoroti peran KAP Kasner Sirumapea selaku auditor yang melakukan audit pada LKT tahun 2018 Garuda Indonesia.

Dimana auditor yang ditugaskan tidak berhasil menemukan adanya salah saji material, sebesar US$ 239,94 juta atau setara dengan 3,36 triliun rupiah (kurs Rp14.000). Nilai ini dihasilkan dari adanya perjanjian kerja sama dengan skema zero investment, antara Garuda Indonesia dengan PT Mahata terkait dengan pemasangan wifi pesawat.

Mengapa?

Skema zero investment ini berpotensi menyalahi berbagai standar akuntansi keuangan. Misalnya PSAK 1 tentang penyajian laporan keuangan, mengatur bahwa laporan keuangan harus disajikan secara wajar, jujur, dan sesuai dengan standar akuntansi. Skema Zero Investment dapat dijadikan sebagai pengakuan fiktif atas pendapatan untuk memberikan kesan yang lebih baik atas kinerja keuangan perusahaan.

Hal ini terlihat ketika PT Garuda Indonesia mengakui kerjasama tersebut sebagai pendapatan pada LKT 2019 sehingga meningkatkan laba perusahaan pada periode tersebut. Dimana untuk dapat mengakui kerjasama tersebut sebagai pendapatan, PT Garuda Indonesia harus dapat memastikan kepatuhannya terhadap PSAK 72 tentang pendapatan dan kontrak dengan pelanggan.

Selain itu, skema zero investment melibatkan penggunaan aset tanpa pembayaran tunai atau dengan struktur sewa yang tidak jelas. Sehingga dalam perintah tertulis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kepada PT Garuda Indonesia, ialah melakukan exposure public terkait dengan ISAK 8 tentang apakah suatu perjanjian mengandung sewa dan PSAK 30 tentang sewa. Hal ini dimaksudkan agar kerjasama PT Garuda Indonesia dengan PT Mahata, diungkap secara transparan dan akuntabel.

Lalu dimana peran KAP Kasner Sirumapea? dalam Standar Audit (SA) 315 mengatur tentang tanggung jawab auditor untuk mengidentifikasi dan menilai risiko kesalahan penyajian material dalam laporan keuangan, melalui pemahaman atas entitas dan lingkungannya, termasuk pengendalian internal entitas. Nilai salah saji material sebesar US$ 239,94 tidak berhasil dideteksi oleh auditor. Inilah yang menggambarkan profesionalisme auditor di persimpangan komersialisme.

Ketika auditor menggunakan perilaku profesionalnya maka salah saji material sebesar US$ 239,94 sewajarnya dapat dideteksi, pasalnya proses audit untuk menentukan materialitas adalah proses panjang dan berulang. Prosesnya bukan berbentuk guideline seperti memasak mi instan, tetapi berbentuk continuous circle, sederhananya auditor menentukan OM (overall materiality), kemudian akan dipecah menjadi SM (specific materiality) hingga kepecahan terkecil yaitu PM (performance materiality). Hal ini dimaksudkan agar auditor dapat mendeteksi salah saji material yang dengan sengaja disembunyikan oleh manajemen, dan pada akhirnya audior memiliki keyakinan memadai yang dapat memengaruhi perumusan opininya.

Namun, akan berbeda ketika auditor menggunakan perilaku komersialisnya. Auditor akan cenderung menyangkal atau menutup mata pada indikasi adanya kecurangan dalam laporan keuangan. Hal ini menjadi salah satu alasan KAP Kasner Sirumapea dikenakan sangsi administratif berupa pembekuan STTD (surat tanda terdaftar) selama 12 bulan. Waktu yang singkat, namun dapat berakibat pada citra KAP tersebut tentunya.

Dalam penelitiannya Power (2003) merefleksikan fenomena ini sebagai “Audit Business”, bahwa nilai professional audit yang utamanya di fokuskan untuk kepentingan publik, bergeser mejadi akomodasi kepentingan klien. Sementara Sweenay & Mc Garry (2011) menganggap bahwa klien/mitra hanya berfokus pada kepentingan komersialnya daripada tujuan lain misalnya kualitas audit.

Lalu apa sebenarnya profesionalisme auditor dan komersialisme? Mengapa keduanya dapat saling berbenturan?

Profesionalisme diartikan sebagai mutu, kualitas dan tindakan yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang professional. Arens dkk (2014) berpendapat bahwa seorang professional diharapkan dapat berperilaku pada tingkat yang berbeda daripada orang lain, karena ia memiliki pengalaman dan kemampuan mengenali/memahami bidang tertentu yang lebih tinggi dari orang lain. Auditor sebagai professional, mengakui adanya tanggungjawab yang tidak hanya kepada diri sendiri maupun ketentuang hukum dan peraturan. Tetapi juga kepada klien, masyarakat serta semua pengguna dari laporan keuangan yang diauditnya. Perilaku Profesional auditor berdampak pada kepercayaan publik atas kualitas jasa yang diberikan, jika pemakai jasa tidak memiliki kepercayaan kepada auditor maka kemampuan professional untuk melayani klien dan masyarakat secara efektif akan hilang.

Sedangkan komersialisme ialah sikap yang mengaitkan segala tindakan dengan hal yang mendatangkan keuntungan. Dalam konteks bisnis, komersialisme sering kali menekankan pada aspek keuntungan finansial sebagai tujuan utama, sehingga keputusan dan tindakan yang diambil cenderung didasarkan pada potensi profitabilitas (Kamariah, 2009). Jasa yang diberikan auditor sangat potensial untuk dikomersilkan, hal ini mengakibatkan benturan orientasi antara profesionalisme dan komerisialisme karena relevansi dan pentingnya jasa ini bagi pemangku kepentingan. Sehingga dalam hal memberikan jasanya, auditor harus tetap mempertahankan profesionalisme atas judgment auditnya walaupun bekerja dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh tekanan komersialisme.

Meskipun saling berbenturan, komersialisme tidak dapat dipisahkan dari pemberian jasa professional utamanya audit. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang membutuhkan keseimbangan. Menjaga professionalisme auditor tidak hanya menjadi tanggungjawab individu tetapi juga budaya organisasi.

Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap profesi auditor, yang berperan dalam memberikan assurance/jaminan atas opini yang diberikan, dan membantu para pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, auditor harus berhati-hati agar prinsip-prinsip etika, seperti independensi, integritas, dan objektivitas, tidak terkompromikan oleh tekanan komersial atau kepentingan finansial.

* Penulis: Fajra Fajria Rusdin (Sekbid RPK DPD IMM Malut)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.