Makna Bulan Ramadhan untuk Generasi Muda

oleh -331 Dilihat
oleh

Pekik suara masjid menggema, derap langkah kaki juga serentak berdatangan ke masjid-masjid, sementara anak kecil bergembira, berduyun-duyun mendatangi rumah ibadah. Situasi seperti ini menandakan Ramadhan sudah tiba di pelupuk mata. Hampir semua kalangan merayakan kedatangan bulan ini, termasuk para pemuda. Mereka merayakan kegembiraan bulan Ramadhan dengan rangkaian kegiatan, seperti ngabuburit, berburu takjil, sahur on the road atau rangkaian aktivitas yang lain.

Di balik riak semeriak itu, bulan suci Ramadhan perlu diletakkan sebagai madrasah kehidupan, utamanya dalam melakukan pembinaan ruhani bagi anak muda. Hanya dengan demikian, Ramadhan tidak berlalu begitu saja. Melainkan benar-benar memberi seberkas cahaya sinar dari dalam hati sebagai modal untuk mengarungi bulan-bulan selanjutnya.

Bulan Ramadhan Untuk Generasi Muda

Ramadhan adalah syahrut tarbiyah (bulan pendidikan). Disebut sebagai syahrut tarbiyah sebab pada bulan ini terdapat banyak sekali kandungan nilai-nilai pendidikan yang diharapkan mampu membina dan membimbing manusia yang menjalankan ibadah dalam bulan Ramadhan.

Untuk para generasi muda, setidaknya beberapa hal berikut menjadi makna utama dari keberadaan bulan Ramadhan.
Pertama, Ramadhan seyogyanya menjadi ruang pembinaan ruhani, bulan yang tepat untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Takwa berarti kepercayaan yang teguh pada Allah, ditandai dengan al-khasyyah (takut), al-iman (iman), At-taubah (taubat), al-Tha’ah (patuh) dan al-ikhlas (ikhlas) (Ashaf, 2018).

Takut bermakna rasa kuatir pada azab dan siksaan Allah. Ketakutan itu membimbing seseorang untuk menjaga dan memelihara dirinya dari azab dan siksa Allah (al-muttaqi man yuhmi nafsahu mi al-‘iqab). Al-Iman bermakna keteguhan hati untuk menyatakan adanya Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, hari akhir serta takdir baik dan buruk dari Allah swt. At-Taubat sebagai manifestasi takwa bermakna kembali dari jalan yang selama ini menjauhkan manusia dari Allah. Taat dan patuh berarti perasaan tunduk melaksanakan perintah Allah dan Rasul-nya secara mutlak. Sementara itu, al-ikhlas berarti melaksanakan segala sesuatu yang digariskan oleh Allah dengan penuh rasa ketulusan.

Manifestasi takwa sebagaimana penjelasan tersebut perlu merasuk di sanubari anak muda lalu mewujud pada laku tindakan sehari-hari. Kualitas ketakwaan generasi muda niscaya diperlukan, utamanya dalam menghadapi akibat negatif dari globalisasi yang menggerus nilai-nilai agama.

Generasi muda yang tidak mempunyai fondasi iman dan takwa yang kuat, niscaya kehilangan pedoman hidup. Lalu ia akan didekap perasaan gundah dan gelisah, tersesat di belantara dunia.

Kedua, Ramadhan bagi generasi muda semestinya menjadi ladang subur pembinaan rasa solidaritas sosial. Puasa Ramadhan dapat menumbuhkan semangat solidaritas sosial sebagai manifestasi dari proses transendensi (hablum minallah) yang mewujud dalam perilaku kemanusiaan yang luhur (hablum minan-naas).

Dengan menahan lapar dan dahaga sebagaimana subtansi dari puasa, maka seseorang bisa merasakan derita orang yang dirundung keterbatasan ekonomi, empati tersebut lantas menjatuhkan egoisme diganti sikap simpati dan dermawan kepada orang lain.
Ketiga, Ramadhan adalah pelatihan diri untuk mengelola hawa nafsu. Sebagaimana kerap kita lihat, banyak manusia yang menjadikan hawa nafsu sebagai ‘tuhan’, apalagi ditengah watak manusia yang sering merasa tidak cukup, serakah, tamak dan riya.

Imam Al-Ghazali menyampaikan, bahwa rasa lapar kala berpuasa sesungguhnya bisa membersihkan hati dari sifat tamak, rakus, riya dan dengki, serta pula menyebabkan hawa nafsu menjadi hina sehingga tidak lagi mampu menyombongkan diri. Puasa mampu menundukan hawa nafsu manusia yang selalu membimbing kepada perbuatan maksiat. Hal ini sebab sumber kekuatan hawa nafsu ialah makanan dan minuman (Zaprulkhan, 2007).
Pelatihan diri dalam mengelola nafsu bagi anak muda belakangan menjadi sangat urgen. Utamanya dalam merespons beragam macam kasus amoral yang dilakukan oleh anak muda, seperti kasus asusila dan pelecahan, tawuran, flexing harta, pemukulan, begal dan klitih. Segala macam kasus amoral tersebut adalah buah dari nafsu yang tidak terkendali. Bila Ramadhan benar-benar dimaknai dengan baik, maka kasus-kasus demikian seharusnya mampu dikendalikan.

Baca Juga Bisakah Ramadhan Menyelamatkan Indonesia?

Keempat, Ramadhan adalah pelatihan toleransi bagi generasi muda. Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan pandai mengendalikan dirinya, ego golongannya, lantas selanjutnya hidup harmoni dalam perbedaan. Inilah yang disebut sebagai toleransi.
Dalam kultur masyarakat Indonesia yang moderat, Ramadhan sesungguhnya telah menjadi wajah toleran masyarakat. Semangat toleransi tersebut terlihat dari kemampuan untuk menerima perbedaan penentuan awal Ramadhan, jumlah rakaat, shalat tarawih, perbedaan bacaan saat tarawih dan segala rupa bentuk perbedaan yang lain.

Puasa Ramadhan seharusnya mampu melatih diri sendiri untuk tidak menghardik dan mencaci keyakinan orang lain. Seorang muslim yang berpuasa seharusnya lebih banyak mengukur kualitas diri sendiri daripada mencari-cari kesalahan orang atau golongan yang lain.
Akhirnya, ulasan ini berakhir dengan harapan bahwa bulan Ramadhan ini bisa menjadi madrasah terbaik bagi generasi muda untuk merengkuh sebanyak mungkin nilai-nilai luhur, membina spiritual, mental-emosional sekaligus pembinaan intelektual. Sehingga demikian Ramadhan diharapkan mampu melahirkan totalitas manusia paripurna (insan kamil) yang memiliki kualitas unggul, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial.

*Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP Pemuda Muhammadiyah