Ibuisme Negara, dan Skandal Organisasi Perempuan

oleh -421 Dilihat
oleh

Oleh: Nurul Azmi Pora

“Saya amat mencintai ibu saya tetapi saya juga merasa gemas dengan perilakunya yang merendahkan perempuan serta mengagungkan kaum laki-laki (Julia Suryakusuma, 2011).

Penyampaian di atas, dapat dilihat bahwa sebenarnya Julia mencoba menulis terkait dengan budaya patriarki. Yang ia rasakan sejak dini. Ketika melihat ibunya yang membedakan dia dengan adiknya dalam hal apapun. Bahkan, Ia tidak pernah diperkenankan untuk mengambil keputusan, karena ia perempuan.

Lebih-lebih lagi mereka juga merupakan keluarga priyayi yang berasal dari sunda, yang mempunyai budaya dan adat masih sangat kental. Apalagi orang jawa pada masa itu sangat menjunjung tinggi kaum laki-laki, hingga mereka lupa bahwa di dalam diri mereka memiliki kelebihan. Karena sejak dulu perempuan tidak diberi ruang untuk mengembangkan setiap potensi yang dimiliki tetapi hanya dididik dengan urusan domestik: dapur, sumur, dan kasur serta budaya ikut suami.

Padahal peran perempuan terhadap negara sangat dibutuhkan. Hanya saja ada konservatisme yang menghambat perempuan tidak dapat melakukan apa-apa. Pandangan konservatisme ini terlihat semenjak abad ke-19 sampai abad ke-20 yang mengedepankan gabungan antara nilai borjuis dan nilai priyayi yang mencoba mempengaruhi perempuan untuk selalu taat kepada suami.

Paham yang sengaja dibuat pada kepemimpinan Soeharto saat masa orde baru. Dimaksudkan agar rekonstruksi sosial keperempuanan serta kepentingan negara dapat mempertahankan kekuasaannya. Hal ini, memacu Julia mencoba memilah antara pengiburumahtanggaan dan ibuisme. Untuk pengiburumahtanggaan lebih mengarah kepada nilai-nilai ekonomistis. Sedangkan, ibuisme lebih menyiratkan kepada nilai-nilai budaya.

Lebih jelas lagi yang dimaksudkan dengan nilai-nilai ekonomistis ialah perempuan dijinakkan dalam proses akumulasi kapitalis. Olehnya itu, banyak perempuan yang diminati bekerja di perusahaan. Pun jika dilihat dalam keseharian, mereka biasanya dijadikan bintang iklan dan model untuk menarik perhatian pelanggan, hal ini tak terlepas dari pada campur tangan negara.

Sedangkan ibuisme negara ialah menciptakan struktur ideologis dan politis bagi masyarakat di Indonesia. Namun, negaralah yang memimpin proses akumulasi kapitalis serta mendefinisikan suatu ideologi gender untuk kepentingan negara.

Nampaknya, pemerintah orde baru berupaya menemukan cara yang paling baik untuk membendung dan memanipulasi kaum perempuan—baik dalam segi politik maupun ekonomi. Cara ampuh itu, menjadi penyebab hadirnya organisasi-organisasi yang tak lepas dari pada ciri pokok ibuisme.

Organisasi-Organisasi Perempuan di Indonesia

Sejak berkuasanya pemerintah orde baru pada 1912 organisasi Sukarela adalah organisasi perempuan pertama yang didirikan untuk pengabdian terhadap negara. Namun pada 1920, ada peningkatan di mana perempuan mulai membicarakan untuk kemerdekaan nasional serta politik kaum perempuan. Tetapi pada 1965 terjadinya perubahan organisai secara alamiah yang mempengaruhi organisasi keperempuaan lain.

Dalam berkembangnya organisasi Sukarela hingga 1965, hadirlah organisasi baru yaitu Kowani pada tahun 1928. Saat itu, organisasi Kowani adalah organisasi tunggal dari 55 organisasi keperempuanan. Kemudian organisasi Kowani mengklaim sebagai organisasi tunggal perempuan Indonesia.

Namun, setelah melewati berbagai macam kesulitan, organisasi Kowani kemudian disahkan secara resmi oleh pemerintah berdasarkan Panca Dharma Wanita: wanita sebagai pendamping setia suami, wanita sebagai pencetak penerus bangsa, wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, wanita sebagai pengatur rumah tangga, dan wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna. Dengan demikian organisasi Kowani telah behenti sebagai alat perjuangan perempuan yang independen karena dirinya telah mengikuti budaya ikut suami yang merupakan ciri pokok ibuisme.

Lain dari pada itu, ada kelompok ibu-ibu khusus untuk istri para abdi Negara, PNS, pejabat pemerintah dan organisasi tingkat kecamatan. Maka pemerintah juga berinsiatif untuk mendirikan salah satu organisasi perempuan yang ada di desa yang diberi nama PKK (Pembinaan Kesejahtraan Keluarga).

PKK adalah studi tentang birokrasi negara yang berfungsi menjalankan kontrol kekuasaan atas perempuan. Sebenarnya PKK dibangun bukan untuk memberi kebebasan kepada kaum perempuan, melainkan secara sengaja dirancang untuk melayani negara dan bergantung pada negara.

Hal ini sangat jelas ketika kita membaca bukunya Julia Suryakusuma (Ibuisme Negara, 2011), bahwa PKK adalah organisasi satu-satunya yang menyusun program-program agar dapat menghubungkan antara perempuan di desa dan negara, yang diperantarai oleh kekuasaan negara otoriter paternalistis melalui berbagai wilayah seperti; budaya, sosial, ideologi, politik dan ekonomi. Kemudian mereka memperantarai domestik sebagai suatu kebudayaan, priyayi dan ibuisme sebagai wilayah politik, serta ekonomi diperantarai oleh Ibu Rumah Tangga. Hal ini didesain untuk mendukung permainan dari kaum kapitalis.

Meski Orde Baru sudah berakhir, namun konstruksi sosial terhadap perempuan masih tetap terjadi. Hal ini disebabkan karena ideologi dan kultur tersebut masih tertanam di alam bawa sadar. Bahkan sampai sekarang, negara masih mengintervensi kehidupan perempuan. Untuk itu agar terhindar hal-hal yang tak di inginkan maka perempuan harus diberi kebebasan sejak dini. Sebab, perempuan adalah rahim peradaban serta penggerak utama negara ini.

*Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara Periode 2019-2020