Reformasi politik yang berlangsung pada pertengahan tahun 1998 menjadi babak baru dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah. Paket kebijakan otonomi daerah yang diterbitkan sejak 1999 turut membangkitkan harapan akan futur daerah yang lebih menjanjikan, karena reorganisasi hubungan pusat-daerah, kian memuluskan proses artikulasi dan pembangunan di aras lokal dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan sosial ekonomi.
Perubahan rezim politik demokratis pada 1998 menandakan lahirnya era baru bagi pemerintah daerah. Paket kebijakan otonomi daerah yang diterbitkan sejak 1999 mengubah posisi daerah dalam pembangunan nasional. Bukanya di tempatkan sebagai entitas yang marginal, perubahan hubungan pusat-daerah, telah memperluas ruang pemerintah daerah untuk melaksanakan tanggubjawabnya. Harapan baru akan masa depan daerah yang lebih menjanjikan akhirnya tumbuh-mengakar di kalangan masyarakat.
Reorganisasi hubungan pusat-daerah membawa konsekuensi makin mudahnya proses artikulasi dan pembangunan di aras lokal, dengan tekad, mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial ekonomi. Sehingga desentralisasi sebagai realitas baru pasca-reformasi sudah mestinya diterima dengan konsekuen. Pelimpahan wewenang dan tanggungjawab dari pemerintah pusat kepada daerah harus dilihat dalam konteks yang lebih substansial, yakni potensi sumberdaya yang dimiliki dikelola dan diperuntukkan untuk kemakmuran.
Daerah memiliki wewenang mengatur dan mengurus urusan mereka sendiri, dengan harapan, memberikan kontribusi bagi pembangunan yang merata, berkeadilan dan berkelanjutan. Terbitnya Undang-Undang No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, semangatnya dapat dilihat dalam pengertian tersebut, yang di dalamnya memuat ketentuan mengenai Dana Bagi Hasil atau DBH. DBH sendiri diklasifikasi menjadi dua jenis, yakni DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).
Secara definitif, DBH merupakan dana yang dialokasikan dari APBN kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu dari pendapatan negara, yang bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan keuangan pusat-daerah dengan porsi tertentu antara pemerintah pusat dan daerah penghasil, serta menjadi instrumen desentralisasi fiskal untuk mengoreksi ketimpangan fiskal vertikal antara pusat-daerah, dan mengurangi ketimpangan kemampuan fiskal antar daerah melalui pembagian yang merata.
DBH memuat dua prinsip pengalokasian. Pertama, prinsip by origin. Berdasar prinsip ini, pengalokasian DBH hendak dibagi dengan imbangan daerah penghasil mendapatkan porsi yang lebih besar, sementara daerah lainnya (dalam satu provinsi) mendapat bagian pemerataan dengan porsi tertentu, sesuai dengan UU No.33/2004. Kedua, adalah prinsip penyaluran berbasis atau sesuai dengan realisasi penerimaan negara yang dibagi hasilkan (based on actual revenue), seperti tercantum dalam Pasal 23 UU No.33/2004.
Kendati telah ada aturan yang menggariskan mengenai dana perimbangan, namun dalam prakteknya, tampak menyisakan residu sehingga tidak jarang menimbulkan tuntutan maupun gugatan dari pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat lantaran dinilai belum menjawab rasa keadilan, sebagaimana terefleksi dari gugatan pemerintah daerah se-provinsi Maluku Utara (Malut) atas DBH Sumber Daya Alam (SDA), termasuk di dalamnya terkait transparansi data ekspor pertambangan.
Menanti Pertanggungjawaban Pemerintah Pusat
Dana Bagi Hasil (DBH) selalu menjadi isu menarik yang kerap memantik perdebatan publik. Hal ini dikarenakan DBH sangat terkait erat dengan “hajat hidup” daerah. Munculnya gugatan pemerintah daerah se-provinsi Malut atas Pemerintah Pusat, terkait DBH-SDA, tidak terlepas dari kesadaran akan hak-hak daerah penghasil yang belum dipenuhi. Sehingga sangat logis kalau sebagai daerah yang memiliki potensi tambang terbesar menuntut pertanggungjawaban pusat agar hak DBH-nya tidak ditahan.
Merujuk pada data Pemerintah Provinsi Maluku Utara tahun 2022, dikatakan bahwa, DBH SDA mineral dan batu bara dari periode 2019-2022, ditemukan kurang bayar sebesar Rp. 320 miliar lebih. Padahal tertahannya hak daerah, di pemerintah pusat, memiliki konsekuensi serius bagi suksesi pelaksanaan pembangunan di ranah lokal. Spirit untuk menyeimbangkan pembangunan nasional dengan pembangunan daerah, yang di dalamnya juga tertuju mengatasi ketimpangan antar daerah, dapat terbengkalai kalau penyaluran dana alokasi DBH SDA di Maluku Utara terhambat.
Pemerintah daerah se-provinsi Maluku Utara setidaknya telah mencanangkan lima program strategis pembangunan daerah yang mencakup dimensi sosial, ekonomi dan pemberdayaan. Kelima program ini antara lain adalah pembangunan Kawasan Industri Rempah (KIERAHA), kesehatan, stabilisasi harga barang. Program-program ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan desentralisasi yang sudah seharusnya mendapat dukungan dari pemerintah pusat.
Hanya saja memang muncul persoalan di tengah pelaksanaan program yang dicanangkan pemerintah daerah se-provinsi Malut. Pembiayaan percepatan pembangunan yang bersumber dari DBH SDA Minerba tahun 2019-2022, untuk dialokasikan pada tahun anggaran 2023, justru masih dihadapkan dengan kendala lantaran pemerintah pusat mempunyai tanggungan Rp. 320 miliar yang belum ditunaikan pemerintah pusat. Sejauh hak daerah masih tertahan di pemerintah pusat, maka konsekuensinya, program percepatan pembangunan daerah bisa terbengkalai.
Tertahannya hak daerah untuk mendapatkan DBH SDA yang sesuai dengan porsi yang layak dapat menyebabkan mismatch antara pendapatan dan belanja APBD tahun 2023 dalam jumlah yang signifikan. Sehingga hal ini justru membuat pemerintah daerah sulit untuk memaksimalkan pendapatannya di kemudian hari. Karenanya spirit menyeimbangkan pembangunan dan mengatasi ketimpangan antar daerah yang mengalasi DBH jadi taruhannya. Apakah dapat terealisasi atau justru terhenti sebatas angan-angan belaka.
Sebagai daerah penghasil sumber daya pertambangan, Pusat harusnya lebih peka dengan keperluan daerah, yang notabene tengah mengejar ketertinggalan pembangunan. Bukannya bisa mendorong akselerasi daerah, sebaliknya, ketidakpastian DBH justru hanya akan memicu stagnasi pembangunan daerah. Sehingga pada akhirnya daerah-daerah se-provinsi Malut rentan terseret ke dalam apa yang dikenal sebagai “kutukan sumberdaya alam” (the curse of natural resources).
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Nasional Institut